Dunia usaha selalu saja memberi “ujian” setiap hari bahkan setiap waktu kepada Top Management perusahaan. Penyelenggaraan ujian ini akan terus berlangsung. Soal-soal ujian yang harus dipecahkan adalah : suasana kerja yang tidak kondusif, motivasi kerja yang menurun, isyu-isyu menyesatkan yang justru dianggap benar oleh karyawan, serta penentuan skala prioritas mana yang hendak didahulukan. Sekarang tinggal bagaimana Top Management tersebut menjawab soal-soal ujiannya. Sebagian besar dari mereka berhasil menyelesaikannya dengan baik dan benar, namun sebagian lagi mereka justru gagal sebelum memulainya.
Dalam menjawab persoalan ini, top management harus lebih banyak berperan aktif dalam mendorong kepuasan, motivasi serta semangat kerja para karyawannya. Tugas ini tidak cukup hanya diembankan kepada Departemen / Divisi HRD saja (biasanya ke atas pundak HRD Manager / Training Manager). Akan tetapi di sisi lain, top management sebagai pengambil keputusan puncak yang amat significant justru mempunyai kepentingan yang sangat besar dalam melihat masalah ini dengan lebih komprehensif dan jernih.
Di semua organisasi usaha / bisnis sepatutnya terdapat kesepakatan yang tidak tertulis yang wajib dipahami pihak manajemen dan para karyawannya bahwa : “Pekerja harus dinilai sebagai Subyek bukannya Obyek (apalagi Obyek Penderita – obyek yang selalu menderita)”.
Pada hakekatnya para karyawan, manager dan top management merupakan “bagian penting yang permanen” (= significantly permanent parties) di dalam suatu perusahaan. Disebut permanen karena keberadaan mereka yang selalu eksis dalam satu “kapal” yang sama, yang notabene harus mempunyai tujuan yang sama pula. Baik karyawan, manager maupun top management masing-masing mempunyai andil dalam membuat kapal tersebut “karam / tenggelam”. Kondisi kapal sangat berdampak bagi kelangsungan hidup ketiganya. Namun yang perlu diingat, tidak semua penumpangnya mempunyai kemampuan renang yang sama. Yang kemampuan renangnya minim akan ikut tenggelam bersama kapal, tetapi yang keahlian renangnya tinggi akan selamat bahkan mungkin akan mampu menemukan kapal baru yang lebih besar, megah dan nyaman di tengah laut guna melanjutkan perjalanan.
Oleh karena itu, ketiganya (karyawan, manager dan top management) haruslah dapat bekerjasama dengan baik dan terpadu melalui keahliannya masing-masing tanpa adanya campur tangan yang terlalu intens (deeply-intervention) dari masing-masing pihak dalam melaksanakan keahliannya. Karena dengan adanya campur tangan yang terlalu “intens” melebihi kompetensi areanya tersebut akan menyulitkan masing-masing pihak untuk melaksanakan dan mengembangkan keahliannya masing-masing.
Namun paradoksal dengan campur tangan tadi, di sisi lain top management perlu menumbuhkan iklim yang kondusif bagi tiap-tiap penumpang kapal itu untuk mau dan mampu memberikan pendapat (opinions) serta saran/gagasan (ideas) yang konstruktif untuk mengantisipasi “kekaburan pandangan ke depan” (=Unclearly Vision) dari Nakhoda (bacanya: top management) kapal tersebut. Iklim yang kondusif tadi diperlukan guna mendorong “keaneka-ragaman” pandangan yang bertujuan mencari solusi terbaik demi pencapaian tujuan akhir perjalanan kapal tersebut dengan lebih cepat dan efisien. Atribut “keaneka-ragaman” ini jangan malah di-indikasikan sebagai ancaman dari dalam (internal threat) tetapi sebaliknya dan sebaiknya harus dianggap sebagai kesempatan dari dalam (internal opportunity) guna mengangkat ke permukaan hal-hal yang bersifat positif demi menjaga dan meningkatkan solidaritas dalam menempuh perjalanan panjang “pelayaran” secara bersama-sama.
Bila saja kita mau melakukan “benchmarking” (=studi banding) dengan melihat organisasi-organisasi bisnis kelas dunia dari mancanegara, maka perhatikan dan amatilah Perusahaan-perusahaan Jepang, dimana mulai dari proses perekrutan SDM-nya sampai kepada pemberian kompensasinya selalu didasarkan pada konsep : “Karyawan atau Pekerja adalah “Mesin Kapal” yang harus dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya”. Dengan menerapkan konsep pemikiran yang demikian itu Perusahaan-perusahaan Jepang tersebut mampu menumbuhkan loyalitas, semangat dan motivasi kerja karyawannya pada batas-batas yang sangat optimum. Dengan bekal loyalitas, semangat dan motivasi kerja karyawan yang sedemikian rupa itu maka tidak ada sedikitpun rasa ragu di dalam perusahaan-perusahaan Jepang tersebut untuk bersaing di dunia bisnis internasional yang setiap saat selalu berubah drastis, semakin kompetitif dan semakin kompleks. Karena dengan loyalitas, semangat dan motivasi kerja yang tinggi tersebut akan menumbuhkan kapabilitas yang tinggi pula.
Tidak soal apakah perusahaan kita sekarang ini masih tergolong relatif kecil, muda atau bahkan masih dinilai sangat konvensional, tetapi dengan loyalitas, semangat dan motivasi kerja karyawan yang pasti akan menumbuhkan kapabilitas maka slowly but sure kita akan mampu bersaing dengan siapa saja, kapan saja dan dimana saja…Niscaya !!!